Tuesday 8 November 2011

Pelajaran Dari Milyader


Seorang wanita kaya raya, namanya Christine Onasis, anak milyuner Aristotek Onasis, suami Jackline Kennedy (juga mantan isteri Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy). Sepeninggal ayahnya, seorang diri ia mewarisi seluruh kekayaan orang tuanya bersama ibu tirinya, Jackline Kennedy. Ia menerima warisan 1250 miliar US Dollar, berikut istana-istana peristirahatan, kapal-kapal armada laut, pesawat terbang, maskapai penerbangan, dan beberapa pulau. Menurut persepsi kebanyakan orang, tentu ia termasuk orang yang paling berbahagia di dunia ini. Tetapi terbukti tidak demikian.


Sejak ayahnya masih hidup dan akhirnya meninggal, Christine Onasis telah kawin sebanyak tiga kali. Pertama bersuami dengan pria Amerika, kedua dengan orang Yunani, dan ketiga dengan seorang Komunis Rusia. Semua perkawinannya berakhir dengan kepahitan. Setelah itu ia menetap di Prancis. Ketika salah seorang wartawan bertanya, apa yang dicari dengan pola kehidupan kawin-cerai? Ia menjawab: Aku ingin memburu kebahagiaan. Wartawan itu melanjutkan pertanyaannya: Apa benar Anda adalah wanita terkaya di dunia? Ia menjawab: ya, tapi aku juga wanita yang paling sengsara di dunia ini.


Di Prancis ia kawin lagi dengan industriawan Prancis dan dikarunia seorang putri. Tetapi perkawinan yang terakhir ini gagal pula. Akhirnya ia memilih hidup sebatang kara. Ia diliputi kegelisahan dan khayalan. Dan tak pernah berhenti mencari kebahagiaan. Dalam beberapa bulan, tiba-tiba ia ditemukan menjadi mayat di apartemennya di Argentina. Seorang wanita konglomerat mengakhiri hidupnya dengan mengenaskan, setelah bersusah payah mencari kebahagiaan hakiki yang tak pernah ditemukannya. Sesungguhnya kekayaannya tidak memberi manfaat kepadanya.


Alhasil, kekuasaan itu tidak menjamin kebahagiaan hidup manusia. Tidakkah kita mendengar nama penguasa mancanegara “Syah Iran dan Ferdinand Marcos”.


Raja Pahlevi adalah penguasa Iran yang sangat kuat di zamannya. Pada akhirnya terusir dari negerinya. Amerika Serikat yang konon merupakan negara yang memiliki kedekatan hubungan dengannya, tidak sanggup memberikan perlindungan kepadanya. Ia terusir dan terbuang di Mesir, setelah terlunta-lunta di negeri orang dan digerogoti penyakit kanker.



Ferdinand Marcos memiliki kisah yang lebih tragis lagi. Setelah terbuang dari negerinya dan meninggal di Honolulu, jenazahnya ditolak oleh rakyat untuk dikebumikan di negerinya sendiri. Baru setelah bertahun-tahun mayatnya di balsem di tempat pengusiran, dan upaya yang luar biasa dari isterinya, Imelda Marcos, jenazahnya diizinkan dibawa pulang ke Filipina. Hingga kini, seluruh anggota keluarganya menerima warisan perkara yang terus menerus digugat oleh rakyat Filipina.



Ketika sedang berkuasa dan berharta seseorang dan keluarganya bisa menikmati hak-hak istimewa. Tetapi ketika terjadi penyalagunaan harta dan wewenang, betapa sakit kita jatuh tersungkur karena keduanya. Bahkan tetangganya yang selama ini tidak ikut menikmatinya akan terkena getahnya. Apakah ini yang disebut neraka dunia. Memang, tiada yang lebih sakit melebihi sakitnya diberhentikan dan dicabut sebelum waktunya.


“Hartaku sama sekali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah sirna kekuasaan dariku.” (QS. Al Haqqah : 28-29).


Kita baru menyadari bahwa kekuasaan dan harta yang kita kejar dengan malang melintang, memeras keringat, membanting tulang, terbukti akan segera kita tinggalkan. Hanya keikhlasan dalam beramal saleh yang menyertai kita menghadap Allah Yang Maha Kaya dan Maha Kuasa.


Membanggakan Hak Guna


Kata orang bijak jika kita membaca sejarah, laksana kita sedang berdiri di depan cermin. Sejarah adalah rekaman peristiwa lakon kehidupan manusia. Timbul tenggelamnya seorang tokoh, bangsa yang ditulis dalam sejarah adalah peringatan sekaligus suri tauladan yang sangat berharga.



Di balik peristiwa sejarah menyimpan proses pembelajaran, muhasah (koreksi diri), dan kearifan. Di pentas sejarah kita bisa mengambil ibrah, bahwa kehidupan di dunia ini akan berakhir, fana.


Yang namanya fana, mana ada kehidupan yang abadi di dunia ini? Mana ada kekuasaan tanpa pensiun? Mana ada jabatan yang kekal? Mana ada manusia yang hidup secara terus-menerus? Dari sel sperma dan sel telur yang menyatu menjadi janin, dari janin menjadi bayi, anak-anak, pemuda, usia lanjut, dan beruban, kematian adalah suatu keniscayaan dalam peta realitas kehidupan.


“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”(QS. Ar Rahman : 26-27).


Ingatlah wahai manusia, kehidupan dan segala karakteristik yang melekat di dalammya selalu berubah. Tidak ada peristiwa kehidupan ini yang langgeng. Suka dan duka, tertawa dan menangis, sedih dan gembira, untung dan rugi, sukses dan gagal, jaya dan nestapa, naik dan turun, gelap dan terang, kuat dan lemah, di atas dan di bawah adalah deretan panjang kehidupan. Perubahan kondisi adalah ujian sekaligus romantika kehidupan. Semuanya tidak ada yang kekal. Yang abadi hanyalah perubahan itu sendiri.



Kekuasaan dan kekayaan tidak menjamin kebahagiaan hidup seseorang, keluarga dan bangsa. Tahta dan harta hanyalah wasilah (alat) untuk mengoptimalkan pengabdian hanya kepada Allah. Harta dan tahta bukan modal pertama dan utama dalam meraih kesuksesan hidup. Islam tidak mengharamkan harta dan tahta tetapi, mampukah kita mensucikan keduanya dari pencemaran berbagai kepentingan hawa nafsu? Jika kita tidak berhasil mensterilkan tahta dan harta dari kotoran dosa dan kontaminasi kepentingan pribadi, akan mencelakakan kita sendiri.

Sumber: SYEKH YUSUF MANSYUR
 
;