Wednesday, 14 December 2011

Pangeran & Keajaiban Rasa Syukur


Di sebuah kerajaan, seorang raja mempunyai anak yang memiliki kegemaran berburu. sebut saja namanya pangeran ali. Suatu hari, ditemani penasehat (orang kepercayaan raja) dan pengawalnya pangeran itu pergi berburu ke hutan. Karena kurang hati-hati saat meruncinkan ujung panah, terjadilah kecelakaan, jari telunjuk pangeran terpotong oleh pisau yang sangat tajam.

Pangeran sangat bersedih dan meratap. kemudian pangeran meminta pendapat dari seorang penasehatnya. Sang penasehat mencoba menghibur dengan kata-kata manis, tapi pangeran tetap sedih ketika melihat jarinya yang hilang itu.

Karena tidak tahu lagi apa yang mesti diucapkan untuk menghibur pangeran, akhirnya penasehat itu berkata: "Baginda, apa pun yang terjadi patut disyukuri".

Mendengar ucapan penasehatnya itu pangeran langsung marah besar : "Apa kamu bilang?? kau tau siapa aku?? seorang pangeran yang terhormat, lihatlah jari telunjukku hilang, aku seperti orang cacat sekarang" Lalu pangeran tersebut meminta ayahnya untuk memerintahkan pengawalnya untuk menghukum penasehat tadi dengan hukuman penjara seumur hidup.

Hari terus berganti. Hilangnya jari telunjuk ternyata tidak membuat pangeran menghentikan hobby berburunya. Suatu hari, Pangeran bersama penasehatnya yang baru dan rombongan pengawal, berburu ke hutan yang jauh dari istana. Tidak terduga, saat berada di tengah hutan, pangeran dan penasehat barunya tersesat dan terpisah dari rombongan. Tiba-tiba, mereka dihadang oleh orang-orang suku primitif. Keduanya lalu ditangkap dan diarak untuk dijadikan korban persembahan kepada para dewa.

Sebelum dijadikan persembahan kepada para dewa, pangeran dan penasehat barunya dimandikan. Saat giliran pangeran yang dimandikan, ketahuan kalau salah satu jari telunjuknya terpotong, yang diartikan oleh suku primitif tersebut sebagai tubuh yang cacat sehingga dianggap tidak layak untuk dijadikan persembahan kepada para dewa.

Akhirnya, pangeran itu ditendang dan dibebaskan begitu saja oleh orang-orang primitif itu. Dan penasehat barunya yang dijadikan persembahan kepada para dewa.

Dengan susah payah, akhirnya pangeran berhasil keluar dari hutan dan kembali keistana. Setibanya di istana, pangeran langsung meminta kepada ayahnya agar penasehat yang dulu dijatuhinya hukuman penjara segera dibebaskan.

"Penasehatku, aku berterimakasih kepadamu. Nasehatmu ternyata benar, apa pun yang terjadi kita patut bersyukur. Karena jari telunjukku yang terpotong waktu itu, hari ini aku bisa pulang dengan selamat"
Kemudian, pangeran menceritakan kisah perburuannya waktu itu secara lengkap.

Setelah mendengar cerita pangeran, buru-buru si penasehat berlutut sambil berkata:
"Terima kasih baginda. Saya juga bersyukur baginda telah memenjarakan saya waktu itu. Karena jika saya tidak dipenjara, maka bukan penasehat yang baru itu yang akan jadi korban, melainkan saya yang bakal diajak baginda ikut berburu dan sayalah yang akan menjadi korban dipersembahkan kepada dewa oleh suku primitif. Sekali lagi terima kasih baginda telah memenjarakan saya, sehingga saya tetap selamat saat ini."

Cerita ini mengajarkan suatu nilai yang sangat mendasar, yaitu apa pun yang terjadi, selalu bersyukur, saat kita dalam kondisi maju dan sukses, kita patut bersyukur, saat musibah datang pun kita tetap bersyukur.

Dalam proses kehidupan ini, memang tidak selalu bisa berjalan mulus seperti yang kita harapkan. Kadang kita di hadapkan pada kenyataan hidup berupa kekhilafan, kegagalan, penipuan, fitnahan, penyakit, musibah, kebakaran, bencana alam, dan lain sebagainya.

Manusia dengan segala kemajuan berpikir, teknologi, dan kemampuan antisipasinya, senantiasa berusaha mengantisipasi adanya potensi-potensi kegagalan, bahaya, atau musibah. Namun kenyataannya, tidak semua aspek bisa kita kuasai. Ada wilayah 'X' yang keberadaan dan keberlangsungannya sama sekali di luar kendali manusia. Inilah wilayah Tuhan Yang Maha Kuasa dengan segala misterinya.

Sebagai makhluk berakal budi, wajar kita berusaha menghindarkan segala bentuk marabahaya. Tetapi jika marabahaya datang dan kita tidak mampu untuk mengubahnya, maka kita harus belajar dengan rasa syukur dan jiwa yang besar untuk menerimanya. Dengan demikian beban penderitaan mental akan jauh terasa lebih ringan, kalau tidak, kita akan mengalami penderitaan mental yang berkepanjangan.

Sungguh, bisa bersyukur dalam keadaan apapun merupakan kekayaan jiwa.
Maka saya sangat setuju dengan kata bijak yang mengatakan
KEBAHAGIAAN DAN KEKAYAAN SEJATI ADA DI RASA BERSYUKUR.
Mulailah dari bersyukur, karena itu permulaan dari kebahagiaan yang besar :)
 
;