Seorang wanita mengadu kepada ayahnya sambil menangis, "Wahai ayahku, semalam aku sempat bersitegang dengan suamiku. Ia marah karena merasa tersinggung oleh salah satu ucapanku. Menyadari akan kemarahannya, aku pun menyesali apa yg telah aku perbuat, lalu aku meminta maaf kepadanya. Namun, dia tetap belum mau berbicara denganku dan terus memalingkan wajahnya dariku. Maka, aku terus berupaya merayunya dengan kemanjaan dan kelembutanku hingga ia tertawa ceria dan kembali menerimaku. Aku Takut Tuhanku mengambil nyawaku pada saat-saat diriku berada dalam kemarahan suamiku".
Sang ayah pun berkata, "Wahai putriku. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-NYA, jika engkau meninggal dunia sebelum ia meridhaimu, maka aku pun tidak akan ridha kepadamu. Bukankah engkau mengetahui bahwa seorang perempuan yang dimarahi suaminya itu terlaknat sebagaimana dikatakan dalam Taurat, Injil, Zabur dan AL-Quran. Bahkan, bukankah kemarahan suami itu bisa mempersulit sakratul mautnya dan mempersempit kuburannya. Maka beruntunglah seorang wanita yang suaminya selalu tenteram dan rela kepadanya". (Menjadi Wanita Paling Bahagia, 2007)