Monday, 5 March 2012

Malaikat Singgah Di Kamarku


Ketika shalat Ashar, aku repot menimbang buku tuntunan shalat di satu tangan, sementara tangan yang lain memperbaiki letak kerudungku yang melorot, sambil mulutku terus komat-kamit mencoba menyuarakan doa-doa dalam bahasa Arab, tiba-tiba saja kamarku yang temaram berubah menjadi terang benderang. Aku terkesima dan takjub. Segera aku telepon sahabat Muslimahku dari Irlandia, dan dengan spontan aku berteriak, “Baru saja ada malaikat-malaikat masuk ke kamarku.” Saat itulah aku mantap menjadi muslim.

Subhanallah, Allah menunjukkan betapa manisnya cahaya yang didapatnya setelah melalui usaha yang cukup keras. Tidak mudah, tapi akhirnya Allah menunjukkan rasa kasih sayangnya terhadap seorang hamba. Allah menghendaki sinar terang hatinya setelah sekian lama dinantikan. Betapa ini adalah anugerah kebahagiaan yang tak terlupakan. Cahaya hangat itu akhirnya merasuk hingga terasa dalam aliran darah.

Old Vic Theatre School di Bristol, Inggris, merupakan sebuah tempat yang sangat penting bagi hidup Rafiqa Basel. Pertama, tempat itu mempertemukan dirinya dengan keramahan kaum muslimin, padahal bertahun-tahun pencitraan buruk tentang mereka mengendap di kepalanya. Kedua, di tempat itu pulalah dia melakukan sebuah keputusan besar, menjadi muslimah.

Ayahnya meninggalkan tanah kelahirannya di Jerman saat masih kecil, sementara ibunya meninggalkan Inggris di usia 20-an. Mereka bertemu dan menikah di Afrika Selatan, tempat Rafiqa Basel lahir dan tumbuh.

Pada tahun 1987, Rafiqa Basel datang ke Old Vic Theatre School di Bristol. Sebuah kota dan kabupaten (county) di Inggris serta salah satu dari dua pusat administratif Inggris Barat Daya. Bristol adalah kota terpadat ke-8 di Inggris dan ke-11 di Britania Raya. Dulunya merupakan kota terbesar Inggris ke-2 setelah London, sampai pertumbuhan pesat Liverpool, Manchester dan Birmingham, pada 1780-an.

Rafiqa Basel mempelajari desain, sebelum kemudian bekerja di Mercury Theatre di Colchester. “Kehidupan berteater memang menggairahkan, tapi tanpa aturan-aturan moral sama sekali. Aku seakan hanyut tenggelam dan diombang-ambing kesana kemari. Aku sadari bahwa teater bukanlah lingkungan yang membuatku merasa nyaman. Kegelisahan itu kini kusadari merupakan tanda pencarianku akan sebuah sistem nilai alternatif, yang lebih terkait dengan spiritualitasku.” Tulis Rafiqa dalam surat kepada temannya Aisya.

Pada 1996 dia memutuskan untuk mengambil basic course bidang kesusastraan di London. Saat itulah dirinya mulai banyak bergaul akrab dengan sejumlah Muslim dari Aljazair dan Moroko, dan menyadari bahwa ada sesuatu dalam diri mereka yang tak dimilikinya. Rafiqa betah sekali menghabiskan waktu bersama mereka, menyiapkan makanan lalu mengobrol panjang lebar.

“Pada saat ini pulalah aku merasakan ketertarikan yang sangat kuat akan Islam. Kuputuskan untuk mulai belajar dan membaca sebanyak mungkin. Aku terlalu takut untuk mencoba masuk ke dalam masjid atau mengenakan kerudung, karena itu kucari buku-buku tentang Islam. Aku juga beruntung dapat berkenalan dengan seorang Muslimah dari Irlandia yang sudah 15 tahun lamanya memeluk Islam.”

Inilah pertama kalinya aku bertemu dengan seorang Muslim. Setelah bertemu dengan beberapa orang Muslim lain, lambat laun aku menyadari betapa aku tidak mengenal Islam dan umatnya. Banyak hal yang kuketahui tentang Islam saat aku remaja ternyata keliru, tetapi aku memang tak tahu-menahu soal Islam. Aku menjadi ingin mengenal agama tersebut karena sikap baik kaum Muslim yang menarik hatiku; demikian pula ketulusan dan shalat kaum Muslim. Gagasan tentang sebuah agama yang membimbing kita dalam setiap aspek kehidupan memang merupakan sesuatu yang tengah kucari.

Tak akan pernah kulupakan pembicaraan dengannya lewat telepon pada suatu hari di tahun 1998. Kami tengah membuat janji untuk bertemu. “Jangan terkejut kalau nanti kita ketemu ya, karena saya pakai jilbaab, baju panjang,” ujarnya. Aku takut sekali sebenarnya, tapi kupaksakan diriku untuk terus datang. Nyatanya, dengan ramahnya ia mengajakku masuk ke rumahnya, yang kuingat terasa penuh ketenteraman dan kedamaian. Aku ingat ketika itu pikiran yang terlintas di benakku adalah. “Ya, inilah sesuatu yang ingin kukenal lebih banyak.”

Pada Ramadhan di bulan Desember 1998 itu, aku merasa bahwa aku semakin dekat dengan suatu keputusan terpenting dalam hidupku. Tetapi aku juga sadar bahwa memeluk Islam ibaratnya one-way ticket. Aku tidak bisa main-main. Karena itulah kuputuskan untuk berpuasa sebulan penuh lamanya dan membeli sebuah buku kecil, tuntunan shalat. Beberapa kenalanku bersikap skeptis, dan memberitahuku bahwa karena aku bukan Muslim maka semua puasa dan shalatku tidak akan diterima.

Aku terus membaca, sampai dua bulan kemudian sahabatku mengajak pergi ke masjid. Sungguh saat yang sangat mendebarkan hati, namun juga ditandai keyakinan yang berbisik dalam hatiku. “Ya, aku akan baik-baik saja.” Berdesak-desak kami masuk ke ruang kerja Imam di Masjid Regent’s Park, London, untuk mendengarkan penjelasannya. Di hadapan sejumlah sisters, aku menangis. Pada hari itu, di bulan Mei 1999, aku mengucapkan syahadat. Aku kini seorang Muslimah.

Keyakinanku sudah begitu kuat hingga aku terus dengan niatku dan berpuasa sebulan penuh. Di pertengahan Ramadhan itu aku juga mencoba shalat lima waktu sehari. Kugelar sajadah dan kuteteskan air mata bahagia serta syukurku. Nafas yang begitu berat terasa ringan dengan iringan dzikir dan tasbih yang keluar dari mulutku. Aku telah menemukan hidupku yang sesungguhnya.

Namun itu pulalah yang menandai dimulainya sebuah perjalanan yang sungguh tidak mudah. Ini juga yang, belakangan kuketahui, dialami banyak sekali mualaf. Segala sesuatu terasa luar biasa saat kita berjalan menuju Islam, namun begitu kita bersyahadat, mulailah ujian-ujian berat menghadang. Keajaiban yang indah yang kutemukan sebelumnya kini terasa jauh dan tak teraba, dan aku tak tahu bagaimana harus mempertahankannya, padahal aku juga tahu bahwa keragu-raguan yang kini timbul di benakku dapat berarti dosa.

Pada saat itu aku belum mengenakan kerudung, dan meskipun aku sadar bahwa itu suatu hal yang harus kulakukan, aku mesti berhadapan dengan tekanan begitu besar agar segera mulai memakainya. Maka aku mulai berkerudung saat belajar mengaji. Nyatanya, perlahan-lahan aku mulai terbiasa. Meski pekerjaan memaksaku bertemu dengan banyak klien, atau tetap dapat berhijab karena itu adalah hakku sebagai Muslim di Inggris.
Aku pun tak menghadapi masalah dalam menyelesaikan banyak pekerjaan akibat pilihanku untuk mengenakan jilbab. Secara umum, aku tidak didiskriminasikan di kampus, meski harus menatap muka dan bersikap formal terhadap rekan sekerja. Menurutku, kebanyakan orang menghargai apa yang aku yakini. Hanya keluargaku saja yang menghadapi persoalan berat, sebab aku adalah anak mereka. Dan pria tak habis pikir mengapa aku menolak untuk menjabat tangan mereka.

Islam benar-benar telah mengubahku. Kini, aku tak ragu lagi terhadap tujuan hidup di dunia ini dan bahwa aku tengah menempuh jalan yang lurus. Sebelumnya aku sungguh-sungguh tak pernah tahu, dan kini aku merasa tenteram bersama Islam. Kehendak Tuhan sangatlah berarti bagiku dan aku memiliki keyakinan tentang dari mana asalku.
Islam juga memperbaiki hidupku sebagai seorang perempuan. Sebab, akhirnya aku tahu bahwa kaum pria Muslim yang shalih jauh lebih menghargai kaum perempuan dibandingkan dengan kebiasaan yang ada di kalangan masyarakat Barat, tempat aku dibesarkan. Aku merasa istimewa menjadi seorang perempuan. Sebelumnya aku merasa kurang bersyukur menjadi seorang perempuan karena menurutku hidupku akan lebih mudah seandainya aku menjadi seorang lelaki. Sebab, sebagai seorang perempuan aku dulu benar-benar dihadapkan pada tanggung jawab besar untuk bekerja sepenuh waktu; merawat rumah tangga, memasak, mencuci, dan merasa tak pernah cocok dengan semua peran itu. Sebagai Muslimah, aku merasa lebih bebas untuk memperhatikan diri, memilih jalan yang benar-benar selaras dengan sifatku, membuat orang lain menerima hal itu, dan merasa tak ada masalah menjadi seorang perempuan – seperti pulang ke rumah. Memeluk agama Islam serasa pulang ke rumah.

Di tempatku kuliah saat ini, di Central Saint Martins, London. Selama empat tahun ini hanya ada satu Muslimah lain yang berhijab. Tetapi orang-orang di sini memperlakukanku dengan hormat dan menghargai prinsip-prinsip yang mempengaruhi hasil karya seniku. Dalam Islam, bekerja adalah ibadah, dan seni hanya diciptakan untuk menyembah Allah.

Sampai kini keluargaku masih tinggal di Afrika Selatan, namun kami secara teratur bersilaturahim. Aku juga baru mengetahui bahwa karena proses keislamanku demikian perlahan dan bertahap, keluargaku sudah lama menyadari perubahan ini. Malahan, ayah ibuku mengunjungi seorang pendeta dan menanyakan tentang “agama Islam yang terus menerus dibicarakan anak kami.” Si pendeta menjawab, “Tidak usah cemas. Itu bukan semacam agama aneh… anakmu tidak akan terkena bahaya (karena memeluk Islam).” Sekarang ini aku dapat dengan bebas mendiskusikan Islam dengan anggota-anggota keluargaku.

Aku menemukan Islam karena melihat pancaran kasih sayang pada diri sejumlah muslim yang kutemui, maka inilah pula jalan dakwah yang kupilih—mengajak orang kepada Islam dengan kasih sayang. Insya Allah. Keluarga dan teman-temanku sudah melihat sendiri bahwa aku telah menemukan kedamaian, dan kalau aku bisa menunjukkan hal ini kepada mereka, maka aku yakin mereka pun akan mencari pengetahuan dan jalan mereka menuju Islam.
 
;